Modal Sosial dan Pengembangan Kelembagaan Masyarakat dalam Penanggulangan Kemiskinan
A. Ulasan modal sosial
Pada bahasan sebelumnya, penulis sudah membahas tentang Konsep Pengembangan Kelembagaan Masyarakat, sedangkan kali ini penulis akan membahasasoal pengertian modal
sosial, kelembagaan masyarakat dan juga kaitannya dengan upaya penanggulangan
kemiskinan berdasarkan teori teori yang ada. Mengingat di hampir setiap buku,
dokumen, SOP,dll dalam banyak program selalu ada istilah pengembangan modal sosial. Agar ada persamaan persepsi, sehingga
jika bicara tentang upaya pengembangan kelembagaan kita berada pada pemahaman
yang sama.
Semakin mengemukanya pencermatan terhadap keberadaan potensi
dan peran penting modal sosial di dalam sistem perekonomian dewasa ini, mulai
terjadi ketika para pakar dan pelaku ekonomi mulai merasakan adanya sejumlah
kejanggalan dan kegagalan implementasi mazab ekonomi neo-klasik yang
pro-globalisasi dan pro-liberalisasi perdagangan dalam menata perekonomian
dunia baru dewasa ini.
Dalam pandangan ilmu ekonomi, modal adalah segala sesuatu yang dapat
menguntungkan atau menghasilkan, modal itu sendiri dapat dibedakan atas
(1)
Modal yang berbetuk material seperti uang, gedung atau barang;
(2)
Modal budaya dalam bentuk kualitas pendidikan; kearifan budaya lokal; dan
(3)
Modal sosial dalam bentuk kebersamaan, kewajiban sosial yang
diinstitusionalisasikan dalam bentuk kehidupan bersama, peran, wewenang,
tanggungjawab, sistem penghargaan dan keterikatan lainnya yang menghasilkan
tindakan kolektif.
Bourdieu (1986) mengemukakan kritiknya terhadap terminologi
modal (capital) di dalam ilmu ekonomi konvensional. Dinyatakannya modal
bukan hanya sekedar alat-alat produksi, akan tetapi memiliki pengertian yang
lebih luas dan dapat diklasifikasikan kedalam 3 (tiga) golongan, yaitu: (a)
modal ekonomi (economic capital), (b) modal kultural (cultural
capital), dan (c) modal sosial (socialcapital). Modal ekonomi,
dikaitkan dengan kepemilikan alat-alat produksi. Modal kultural,
terinstitusionalisasi dalam bentuk kualifikasi pendidikan. Modal sosial,
terdiri dari kewajiban - kewajiban sosial.
Mari kita lihat Beberapa teori tentang modal sosial:
1.
Secara umum modal sosial adalah merupakan hubungan-hubungan
yang tercipta dan norma-norma yang membentuk kualitas dan kuantitas
hubungan sosial dalam masyarakat
dalam spektrum yang luas, yaitu sebagai perekat sosial (social glue)
yang menjaga kesatuan anggota
masyarakat (bangsa) secara bersama-sama. (Dikutip dari : MODAL SOSIAL1: DEFINISI, DIMENSI, DAN TIPOLOGI Oleh: Agus Supriono2, Dance J. Flassy3, Sasli Rais4)
2.
Menurut James Colement
(1990) modal sosial merupakan inheren
dalam struktur relasi antarindividu. Struktur relasi membentuk jaringan
sosial yang menciptakan berbagai ragam kualitas sosial berupa saling percaya,
terbuka, kesatuan norma, dan menetapkan berbagai jenis sangsi bagi anggotanya.
3.
Putnam (1995) mengartikan
modal sosial sebagai “features of social organization such as networks,
norms, and social trust that facilitate coordination and cooperation for mutual
benefit”. Modal sosial menjadi perekat bagi setiap individu, dalam bentuk
norma, kepercayaan dan jaringkerja, sehingga terjadi kerjasama yang saling
menguntungkan, untuk mencapai tujuan bersama.
4.
Francis Fukuyama (1995)
mengilustrasikan modal sosial dalam trust, believe and vertrauen artinya bahwa
pentingnya kepercayaan yang mengakar dalam faktor kultural seperti etika dan
moral
5.
Menurut Bank Dunia (1999)
modal sosial lebih diartikan kepada dimensi institusional, hubungan yang
tercipta, norma yang membentuk kualitas dan kuantitas hubungan sosial dalam masyarakat.
Modal sosial pun tidak diartikan hanya sejumlah institusi dan kelompok sosial
yang mendukungnya, tapi juga perekat (social glue) yang menjaga kesatuan
anggota kelompok sebagai suatu kesatuan.
Dengan mengkaitkan relevansinya terhadap konteks pembahasan,
maka kita akan coba tarik beberapa intisari/kata kunci yang bisa juga dianggap
sebagai batasan pembahasan dalam tulisan ini:
1.
Bahwa
modal sosial inheren di dalam struktur relasi sosial
2.
Dalam
relasi sosial terdapat norma-norma/nilai-nilai yang disepakati yang memperkuat
kualitas maupun kualitas hubungan sosial tersebut
3.
Tidak
hanya diartikan sebagai sejumlah institusi dan kelompok sosial yang
mendukungnya tapi juga perekat sosial (social
glue) yang menjaga kesatuan anggota kelompok sebagai satu kesatuan.
4.
Satu
lagi bahwa norma-norma yang dijadikan sebagai social glue yang membentuk relasi sosial tersebut terbentuk melalui
proses, proses itu tentu adalah aktivitas sosial yang mendukungnya.
B. Kelembagaan lokal sebagai
pembentuk modal sosial masyarakat lokal
Di dalam
perkembangan pembangunan lembaga istilah lokal sulit didefinisikan. Pada
tataran makro lokal adalah lawannya dari global. Sehingga istilah lokal dapat
digunakan untuk menyebut peradaban suatu negara sedang global untuk menyebut
peradaban pada tataran antarnegara (regional dan internasional). Lokal menurut
pemahaman UU No. 22 Tahun 1999 adalah pada tataran mikro artinya istilah lokal
untuk menyebut kawasan daerah tingkat satu/propinsi, daerah tingkat dua/
kabupaten atau kota, dan dimungkinkan lokal untuk menyebut yang lebih spesifik
yaitu kecamatan dan desa. Jadi institusi lokal merupakan asosiasi komunitas
setempat yang bertanggung jawab atas proses kegiatan pembangunan setempat
(Esman dan Uphoff, 1982:9), seperti rukun tetangga, arisan trah, kelompok pengajian, kelompok ronda dan sejenisnya. Yang jelas institusi
ini memberikan manfaat bagi masyarakat dan pemerintah setempat.
Institusi lokal
dalam komunitas harus dilihat sebagai suatu sistem yang saling silang menyilang
(cross-cutting affiliation) dan institusi lokal telah menyediakan jaring
pengaman sosial (sosial safety net) ketika komunitas lokal berada dalam
situasi krisis. Kehadiran institusi lokal bukan atas kepentingan
pribadi/individu tetapi atas kepentingan bersama, sehingga institusi lokal lama
kelamaan menduduki pada posisi penting dalam penyelenggaraan pemerintahan
lokal. Rasa saling percaya warga komunitas lokal yang digalang dan diasah
melalui institusi ini semakin hari semakin didambakan sebagai modal sosial (sosial
capital).
Institusi lokal
ternyata mampu menjadi bingkai etika komunitas lokal (Purwo Santoso, 2002: 6).
Institusi lokal pada dasarnya adalah regulasi perilaku kolektif, di mana
sandarannya adalah etika sosial, sehingga institusi lokal mampu menghasilkan
kemampuan mengatur diri sendiri dari kacamata normatif.
Di atas telah dibahas pengertian institusi lokal dan modal sosial maka
berikut akan kita telusuri dimana titik temu antara institusi lokal dengan
modal sosial. Kita pahami bahwa institusi lokal merupakan salah satu modal
sosial sehingga institusi lokal di mana saja keberadaannya tetap mempunyai
nilai positif bagi komunitas yang bersangkutan. Ternyata institusi lokal
dijadikan dasar berpijak masyarakat lokal oleh karenanya modal sosial dapat
berkembang dan mengalami erosi dan melemah serta menguatnya modal sosial pada
masyarakat dapat dipotret melalui institusi lokal.
§ Potret Positif
modal sosial dapat digambarkan dalam formulasi kepercayaan (trust) yang
meliputi kohesi sosial, empati, transparansi, militan (inklusif) yang
kesemuanya itu akan berdampak pada memunculkan kontrol sosial baru,
revitalisasi modal sosial baru, perlu membangun kerjasama dengan pihak luar,
demokrasi dan desentralisasi. Norma harus diwujudkan dalam bentuk
kesetaraan dan kemitraan sehingga tidak muncul perbedaan perlakuan antarwarga,
dalam alokasi ini akan muncul kendala kebudayaan luar, anomalis primordialisme
dan vested interest sehingga perlu dipersiapkan jawaban kedepan guna
membenteng tantangan yang akan muncul.
§ Potret Negatif
modal sosial dapat digambarkan dalam formulasi melemahnya modal sosial sehingga
modal sosial mengalami erosi dalam bentuk: interaksi sosial, ditandai dengan
pelanggaran norma, krisis kepemimpinan, kerenggangan hubungan sosial dan
dehumanisasi. Kondisi ini disebabkan oleh lemahnya kontrol sosial, sentimen
kelompok, meningkatnya semangat individualisme dan merebahnya nilai budaya
material. Bila kondisi ini dibiarkan maka akan berakibat pada anomalis,
pembangkangan, konflik dan perilaku menyimpang. Komunitas, muncul sikap
baru dari komunitas dalam bentuk apatis, pragmatis, pengingkaran dan budaya
potong kompas (menerobos). Sikap ini muncul karena disebabkan oleh tidak ada
kepercayaan, rendahnya rasa handarbeni, egoisme, menghalalkan segala cara dan
pelayanan birokrasi yang rendah. Jika kondisi ini tidak segera diantisipasi,
maka yang muncul adalah stagnan (kemandegan), menurunkan partisipasi,
pelanggaran nilai sosial dan dimungkinkan terjadi KKN.
§
Apabila erosi modal sosial dalam interaksi sosial dan komunitas benar-benar
terjadi, maka institusi lokal akan kehilangan social trust yang ditandai
dengan rasa kecurigaan, rasa tidak aman, menurunnya rasa kebersamaan,
pembangkangan, dan akan menyebabkan rendahnya keterbukaan sehingga intensitas
komunikasi rendah, tingginya manipulasi publik dan dampak yang paling parah
adalah disintegrasi sosial.
Institusi lokal dan modal sosial ternyata mempunyai
pengaruh yang sangat besar terhadap komunitas lokal oleh karena itu perlu ada
penguatan terhadap institusi lokal.
Pemupukan institusi lokal dan modal sosial dapat
dilakukan melalui beberapa alternatif berikut:
§ Pengorganisasian
institusi diarahkan dalam rangka memfasilitasi komunitas lokal.
§ Mengembangkan
kerangka fikir re-lingking (menyambung kembali) tindakan ini diarahkan
untuk menyambung kembali titik temu dimensi formal dengan dimensi nonformal
yang ada di dalam masyarakat.
§
Perbaikan infrastruktur dalam suasana religius dan cultural.
C. Penguatan Kelembagaan Masyarakat Sebagai
sarana pengembangan modal sosial dalam Upaya Penanggulangan kemiskinan
Telah diuraikan sebelumnya, pengertian tentang modal sosial,
kelembagaan dan kelembagaan masyarakat serta kaitan antara keduanya. Sangat
jelas bahwa Pengembangan kelembagaan masyarakat memiliki poin tersendiri
sebagai media strategi pengembangan modal sosial. Sehingga dapat dikatakan
tidak mungkin mengembangkan modal sosial tanpa mengembangkan kelembagaan
masyarakat lokal.
Kaitannya dengan penanggulangan kemiskinan khususnya di tingkat
masyarakat, yang bersifat multidimensi, maka upaya pengembangan kelembagaan
masyarakat harus merupakan bagian yang tidak terpisahkan.
Sebagaimana dikutip dari tulisan tentang Anatomi Kemiskinan (Parwoto,
Modul Pelatihan Dasar Faskel PNPM Mandiri Perkotaan tahun 2008 : hal 35), jelaslah
meskipun ada berbagai pandangan tentang kemiskinan tetapi semua mengacu pada
lunturnya nilai-nilai luhur para pelaku pembangunan yang berakibat aturan atau
tatanan pengelolaan urusan publik dalam hidup berbangsa dan bernegara yang
tidak adil sehingga terjadi akumulasi pemihakan justeru kepada yang tidak
miskin (kaya) yang berakibat fatal terhadap upaya-upaya penangulangan
kemiskinan. Dengan kata lain persoalan kemiskinan pada dasarnya adalah perkara
pengelolaan urusan publik (governance issues) karena lunturnya
nilai-nilai luhur universal sehingga upaya perbaikan yang harus dilakukan
adalah mulai dengan membangun kembali kesadaran kritis dan moral para pelaku
pembangunan baik ditataran pengambil keputusan maupun di tataran rakyat jelata
sehingga pada gilirannya mampu menciptakan dan membangun tatanan pengelolaan
urusan publik yang baik (good governance).
Sesuai dengan sifatnya bahwa kemiskinan adalah persoalan multidimensional dan antar dimensi saling terkait
(interrelated) dan saling mengunci (interlocking) maka apapun upaya yang
dilakukan dalam rangka penanggulangan atau pemberantasan kemiskinan haruslah mencakup
berbagai dimensi tersebut secara integratif.
Beberapa Bentuk Intervensi Upaya Penanggulangan Kemiskinan
No.
|
Tataran
|
Kemungkinan Intervensi
|
1
|
Pelaku
|
Membangun kesadaran kritis dan memulihkan kemampuan manusia
untuk menjadi pelaku moral. |
2
|
Kebijakan
|
Menetapkan program penangulangan kemiskinan dan penciptaan lapangan kerja
sebagai prioritas dalam strategi pembangunan kota (city development strategy)
|
Pengembangan kebijakan yang memulihkan posisi masyarakat miskin dalam
proses pembangunan dan pengambilan keputusan sebagai
pelaku kunci |
||
Pengembangan kebijakan yang menjamin akses bagi masyarakat
miskin ke berbagai sumberdaya kunci dan peluang pembangunan yang dibutuhkan untuk meningkatkan kesejahteraan hidup mereka. |
||
Pengembangan kebijakan usaha yang memadukan dan memberikan peluang yang
adil terhadap sektor formal dan informal
|
||
3
|
Pengaturan
|
Pengembangan
berbagai peraturan yang menjamin kehidupan dan penghidupan masyarakat miskin
dikota, termasuk jaminan untuk
bekerja dan bermukim |
Penyederhanaan
sistem perizinan dan penguatan hak-hak masyarakat miskin atas tanah dan
lokasi usaha
|
||
Pengembangan
peraturan yang secara sistemik menjamin kegiatan usaha informal
termasuk industri rumah tangga
|
||
4
|
Kelembagaan
|
Membangun kelembagaan masyarakat
warga (civil society organization)
|
Membangun
kelembagaan antara yang mampu menjembatani antara sektor formal dan informal
|
||
5
|
Program
|
Penyediaan
pelayanan publik yang lebih akomodatif terhadap kepentingan masyarakat miskin
(kesehatan, pendidikan, transportasi, pelayanan prasarana, dsb)
|
Pengembangan program-program
perumahan untuk kelompok masyarakat yang tidak terlayani oleh pasar formal
|
||
Pengembangan
program-program pemberdayaan yang membangun dan memulihkan keberdayaan warga,
keluarga dan masyarakat untuk mampu menentukan sejarahnya sendiri
|
||
6
|
Evaluasi
|
Pemutakhiran
pemetaan masyarakat miskin perkotaan
|
Pengembangan
indikator keberhasilan penangulangan kemiskinan
|
||
Pengembangan
indikator partisipasi masyarakat banyak utamanya yang miskin dalam proses
pengambilan keputusan publik
|
Disini jelas, persoalan kemiskinan adalah persoalan sosial, sehingga
upaya penanggulangan kemiskinan yang berdasar pada persoalan lunturnya
nilai-nilai sosial, mestinya juga melibatkan pengembangan kelembagaan
masyarakat sebagai motor dari upaya tersebut. Membangun kelembagaan dalam upaya
penanggulangan kemiskinan adalah faktor yang sangat penting, tidak mungkin
upaya penanggulangan kemiskinan dapat berlangsung secara berkelanjutan tanpa
pengembangan kelembagaan masyarakat lokal.